Teori Modernisasi

Teori Modernisasi muncul setelah adanya fenomena tumbuhnya negara-negara kaya dan negara miskin semakin miskin. Teori modernisasi menjelaskan bahwa penyebab utama kemiskinan disebabkan oleh faktor-faktor internal atau faktor-faktor yang terdapat di dalam negara-negara yang bersangkutan. Teori modernisasi muncul dan berkembang pada tahun 1970an yang menjelaskan berbagai definisi teori modernisasi. Dalam teori ini terdapat beberapa ilmuan yang menjelaskan pengertian teori modernisasi, yaitu :

  1. Beling dan Totten (1970) menjelaskan bahwa modernisasi merupakan salah satu bentuk perubahan sosial yang berasal dari revolusi industry di Inggris (1976 – 1830) dan revolusi politik di Perancis (1789 – 1974). Aspek yang menonjol dari proses modernisasi adalah perubahan Teknik industry dari cara-cara tradisional ke cara-cara modern yang dihasilkan oleh revoluasi industry melalui penemuan-penemuan baru di bidang ilmu pengetahuan.
  2. Schoorl (1980) mendefinisikan modernisasi sebagai penerapan pengetahuan ilmiah yang ada pada semua aktifitas, semua bidang kehidupan dan semua aspek masyarakat.
  3. Evers (1973) menjelaskan bahwa modernisasi adalah proses penerapan ilmu pengetahuan yang meliputi semua segi kehidupan manusia pada tingkat yang berbeda-beda, yaitu berbaurnya berbagai sisi kehidupan melalui berbagai cara dan kelompok dengan tujuan sama untuk mencapai taraf kehidupan yang lebih baik dan lebih nyaman dalam arti seluas-luasnya, sepanjang dapat diterima oleh masyarakat yang bersangkutan.
  4. Rogers (1976) menyebutkan bahwa modernisasi adalah proses perubahan cepat dimana individu berubah dari cara hidup tradisional menuju gaya hidup yang lebih komplek dan maju secara teknologi.
  5. Black (1967) mendefinisikan modernisasi sebagai proses dimana secara historis Lembaga-lembaga yang berkembang secara perlahan disesuaikan dengan perubahan fungsi secara cepat yang menimbulkan peningkatan yang belum pernah dicapai sebelumnya dalam hal pengetahuan manusia, yang memungkinkan untuk menguasai lingkungannya dan menimbulkan revolusi ilmiah.
  6. Lerner (1958) modernisasi diartikan sebagai suatu trend unilateral yang bersifat sekuler dalam mengarahkan manusia kearah cara-cara hidup tradisional menjadi partisipan.
  7. Inkeles (1966 dan McClelland (1961) menjelaskan bahwa modernisasi adalah sejumlah variabel psikologis yang mampu membentuk jenis karakteristik dan mentalitas manusia modern secara khas.

Berbagai persepsi di atas sebenarnya mewakili kategori kelompok-kelompok pakar yaitu :

  1. Pakar Ekonomi menjelaskan model-model pertumbuhan yang berisikan indeks-indeks seperti indikator ekonomi, standar hidup, pendapatan perkapita, dll.
  2. Pakar Politik menjelaskan bahwa modernisasi berasal dari proses politik, pergolakan sosial dan hubungan-hubungan kelembagaan.
  3. Pakar Sosiologi menjelaskan modernisasi sebagai perspektif evolusioner mencakup transisi multi linear masyarakat yang sedang berkembang dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern.
  4. Pakar Psikologi menjelaskan bahwa modernisasi adalah perubahan-perubahan sikap dan tingkah laku yang memprakarsai dan menopang perkembangan sosio-ekonomis.

Abraham (1991) menyebutkan 2 tipe modernisasi yaitu

  1. Modernisasi Ekonomi. Modernisasi ekonomi ditandai dengan (1) tingginya tingkat konsumsi, standar hidup, revolusi industry, intensitas modal yang semakin besar dan orgaisasi birokrasi yang rasional. (2) adanya pembentukan system pertukaran moneter, peningkatan tingkat skill yang dibutuhkan melalui teknokrasi, mekanisasi, otomasi dan akibat perpindahan tenaga kerja, penghitungan biaya secara rasional, spesialisasi okupasi yang makin besar dan spesifikasi fungsional, pola-pola tabungan dan investasi dan alat-alat transportasi dan komunikasi yang makin cepat yang memudahkan turut serta dalam pemasaran, mobilitas tenaga kerja, distribusi barang-barang dan perubahan pola konsumsi. (3) adanya perluasan pengetahuan ilmiah dan inovasi teknologi, pembentukan modal, tingkat Pendidikan yang cocok, spesialisasi ekonomi dan kecukupan bahan-bahan mentah, barang produksi dan konsumsi

2. Modernisasi Sosial. Modernisasi sosial mencakup modernisasi politik dan psikologis. Modernisasi politik meliputi (1) perubahan dalam atribut-atribut sistemik, pola-pola kelembagaan dan peranan-peranan status dalam struktur sosial masyarakat sedang berkembang. (2) adanya beberapa perubahan sosial yang terencana, sekularisme, perubahan sikap dan tingkah laku, pengeluaran (belanja) Pendidikan umum yang berat, revolusi pengetahuan melalui perluasan sarana komunikasi, instrument hubungan-hubungan sosial dan keharusan kontraktual, diferesiasi structural dan spesialisasi fungsional. (3) adana perkembangan infrastruktur adminsitrasi, pemerintahan dan birokrasi memudahkan kemajuan nasional seperti bangkitnya kepemimpinan politik, perencanaan ekonomi, partisipasi politik massa yang makin membesar, munculnya klas menengah serta birokrasi rasional.

Modernisasi sosial dapat diciptakan dan melahirkan proses industralisasi, urbanisasi, sekularisasi, peran media massa yang semakin membesar, stabilitas kependudukan, dan bangkitnya kelas menengah serta revoluasi budaya yang dasyat.

Weber (1958) tentang Teori Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme yang mengarahkan pada rumusan sosiologis yang menekankan peranan nilai dalam pembangunan sosio-ekonomis negara-negara terbelakang yang bersifat komplek.

Tonnies (dalam Lysen, 1967) menjelaskan bahwa perubahan yang terjadi di masyarakat sebagai proses evoluasi dari masyarakat yang bercirikan gemeinschaft yang didominasi oleh kehendak alamiah (natural will), tradisi kesatuan dan kesucian, menjadi masyarakat gesselschaft yang didasarkan pada kemauan rasional, kepentingan pribadi dan hubungan kontraktual.

Durkheim (dalam Johnson, 1986) menjelaskan dua tipe masyarakat yang didasarkan pada dua jenis solidaritas hubungan sosial yaitu mekanistik dan organik.

Peralihan solidaritas diantara keduanya diakibatkan oleh spesialisasi dan differensiai structural fungsional yang makin besar, dan adanya basis kontrak sebagai dasar untuk asosiasi individualistic yang bersifat sekuler.

Parsons mengenai Variabel-variabel Pola Tindakan (dalam Soekanto, 1986) menjelaskan adanya dikotoomi sistem-sistem nilai dalam masyarakat tradisional dan modern untuk mengidentifikasi seperangkat nilai-nilai budaya yang berbeda yang berkaitan dengan masyarakat pra-modern dan modern. Cara menganalisa Tindakan variabel pola mengandung pilihan antara lain : Affectivity Vs Affective Neutrality ; Diffuseness Vs Specifity ; Universalism Vs Particularism ; Achievement Vs Ascription ; Self Vs Collectivity.

Giddens (1999) menjelaskan bahwa modernisasi berkaitan dengan perubahan sosial. Tantangan kolektif terhadap perubahan biasanya dilakukan berdasarkan dalih demi ketertiban dan keamanan, sedangkan tantangan individual bersifat intelektual. Kedua tantangan ini dilatarbelakangi oleh ketakutan akan hancurnya tradisi sebagai milik yang telah dipegang sejak lama.

Evers (1973) menjelaskan bahwa Perubahan sosial berasal dari kaum elite yang dianggap sebagai agen perubahan sosial, terutama kepentingan kaum elite.

Lerner (1958)  dari hasil penelitian di beberapa masyarakat Timur Tengah menjelaskan bahwa ada 4 faktor perubahan sosial, dan menjadi indikator modernitas masyarakat yaitu : (1) urbanisme, (2) kemampuan membaca an menulis (literacy), (3) partisipasi media dan (4) proses empathy.

Soemardjan (1962) tentang perubahan sosial di Yogyakarta menjabarkan bahwa perubahan sosial didorong oeh biologik (penduduk), teknologik, dan ideologik kehidupan masyarakat. Bertambahnya jumlah penduduk mendorong berubahnya mata pencaharian dari sector pertanian ke sektor jasa.

Dari pengalaman pembangunan dunia ketiga, modernisasi akan terjadi dan efektif jika terjadi perubahan sosial. Di berbagai Kawasan di dunia ketiga, kaum elite tetap mempertahankan kedudukan sosial yang menguntungkan mereka. Tidaklah mengherankan jika ditengah masyarakat sering tumbuh Gerakan-gerakan yang dikenal dengan Gerakan pembebasan (liberation).

Konsep pembebasan dianggap lebih tepat sebagai Konsep Pembangunan, hal ini dikarenakan oleh dua hal, yaitu (1) pembangunan terlalu dikaitkan dengan efisiensi, sedangkan upaya mencapai hasil-hasil efisiensi Sebagian besar dikendalikan oleh kaum elite yang menguasai teknologi, sedangkan masyarakat miskin mendapat peranan apapun dalam pembangunan. (2) pembangunan menolak kekerasan sebagai suatu hal yang tidak diskonstruksi dan mengutuk kekerasan terhadap pola-pola perubahan yang sifatnya legal.

Perubahan sosial ditimbulkan dengan adanya gejala disorganisasi dalam keluarga, pertentangan, urbanisasi dan sebagainya. Semuanya ini mempunyai pengaruh dan akibat Bersama dalam masyarakat, karena inti perubahan sosial menyangkut aspek-aspek sosio-ekonomis dan demografis dari masyarakat serta aspek structural dari organisasi sosial. Aspek sosio-demografis digambarkan dengan mobilitas sosial yang menunjukkan bahwa unsur-unsur sosial, ekonomis dan psikologis masyarakat mulai menunjukkan peluang kearah pola-pola baru melalui sosialisasi dan pola-pola perilaku yang berwujud pada aspek-aspek kehidupan modern.

Perubahan sosial menyangkut perubahan pola perilaku dan norma-norma lama menuju kea rah norma-norma baru yang membawa konsekuensi timbulnya proses-proses disintegrasi dalam masyarakat di segala bidang.

Misalnya akibat yang timbul karena perubahan sosial ini antara lain : (1) terganggunya keseimbangan antara kesatuan-kesatuan sosial dalam masyarakat (2) renggangnya hubungan kekeluargaan dalam masyarakat (3) bertambah besarnya tingkat urbanisasi penduduk dari daerah pedesaan ke daerah perkotaan.

Soekanto (1985) menjelaskan bahwa perubahan sosial adalah perubahan norma-norma, dimana perubahan norma dan proses pembentukan norma baru merupakan inti dari kehidupan mempertahankan persatuan kehidupan kelompok; maka dengan sendirinya terjadi disintegrasi di segala bidang, misalnya terjadi proses pembesaran skala dan proses differensiasi.

Proses pembesaran skala adalah (1) pengintegrasian masyarakat pra-modern ke dalam ikatan-ikatan lebih besar yang terjadi di segala bidang seperti sosial politik, ekonomi budaya dan sebagainya. (2) pembentukan dan perluasan birokrasi dan tugas-tugas pemerintahan di tingkat local. (3) bidang budaya ada pengintegrasian yang lebih besar. Misalnya dalam pengajaran dunia anak-anak dari masyarakat lokal yang kebudayaannya berbeda-beda, disosialisasikan dan dibudayakan ke dalam masyarakat yang lebih luas (4) bidang ekonomi, karena ikatan anggota masyarakat lokal dengan dunia luar semakin banyak, maka ada kecenderungan bahwa ketergantungan dan ikatan-ikatan primordial semakin berkurang.

Kesimpulan teori modernisasi dari hasil seminar di UIM (1985) terdapat beberapa kesimpulan tentang teori modernisasi :

adanya polarisasi atau pengkutuban dimana yang satu dicap sebagai tradisional dan satu lagi mengklaim sebagai kelompok modern. di Indonesia sikap semacam ini disebut sebagai ambivalensi (mendua). Di satu pihak berupaya untuk mengkonversi nilai-nilai lama ke dalam wilayah cagar budaya masyarakat yang aman dan reaktif, tetapi di pihak lain ingin menerima kehadian nilai-nilai baru yang belum begitu dipahami manfaatnya. Sehingga keinginan yang demikian mampu memanipulir imajinasi manusia Indonesia menjadi suatu bentuk kebutuhan permisif (serba halal) dengan model-model penindasan gaya baru yang hampir tidak disadari oleh Sebagian besar masyarakat. Sehingga yang terjadi adalah individu untuk modernisasi dan bukan modernisasi untuk individu. Dan ini adalah polemik pembagunan yang belum terselesaikan sampai saat ini.

Daftar Pusataka

Suryono, Agus. 2010. Dimensi-Dimensi Prima Teori Pembangunan. Universitas Brawijaya Press.